KORUPTOR atau seseorang yang melakukan tindakan korupsi pada dasarnya merupakan tindakan yang seharusnya sangat tidak diterima di masyarakat manapun di dunia ini. Korupsi secara sosiologis termasuk ke dalam patologi sosial/penyakit masyarakat, perilaku tersebut tidak hanya mendapatkan sanksi secara hukum pidana berupa kurungan penjara, denda, bahkan hukuman mati, namun pelakunya biasanya juga mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan, pengusiran, dan lain sebagainya sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat tersebut.
Saya mencoba melihat dari satu sisi sudut pandang permisif masyarakat terhap para koruptor, meskipun secara normatif tetap akan ada orang-orang yang idealis tetap akan menentang para koruptor. Dewasa ini sepertinya terjadi dinamika kebudayaan di dalam masyarakat kita menyangkut perihal koruptor, dimana masyarakat terkesan cenderung permisif terhadap oknum-oknum koruptor tersebut, hal ini terlihat dari adanya fenomena masyarakat tetap empati bahkan memberikan dukungan terhadap koruptor ketika ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kemudian masyarakat yang masih memilih mantan napi koruptor untuk kembali mewakili mereka dalam pemerintahan melalui pencalonan di dalam pemilihan umum, dan lin sebagainya.
Fenomena-fenomena tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa kondisi psikis masyarakat begitu permisif, mudah memberi maaf, dan bisa jadi juga menganggap fenomena orang-orang yang melakukan tindakan korupsi (koruptor) tersebut sebagai hal yang sudah biasa terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehingga seakan masyarakat tidak lagi mempersoalkan tindakan korupsi tersebut.
Comments